Minggu, 04 Mei 2014

Yang Tinggal Kenangan


                Aku tak pernah mengerti, yah.. selalu saja... hal yang membuatku kaget, dan heran setengah mati. Tapi ini nyata. Sekali lagi aku harus menghadapi kebenaran ini. Apa memang mereka seperti itu ?. ku kira mereka mendukungku ?. namun mereka menjatuhkanku. Apa yang mereka inginkan sebenarnya. Bukankah mereka sahabat. Kurasa pilu dihatiku. Perlahan air mataku jatuh meleleh dipipiku. Tuhan, kuatkan hamba...
“yang benar saja ? benarkah mereka yang mengatakan itu ?”. kata ku lirih
“iya, mereka yang mengatakannya kemarin, jelas saja”. Farhi memperjelas kata-katanya.
Aku semakin miris, semakin menggulung ulur hatiku dalam-dalam. Perlahan namun jelas, terbayang wajah mereka. Namun seakan buram dimataku. Aku bingung, menentukan perasaan yang kurasakan. Terbayang masa-masa indah saat kami tertawa, memanggul suka dan duka bersama.
*
“din, pulang bareng yuk “. Kata rinda sesaat setelah bel pulang berdering nyaring membelah keong ditelingaku.
“ok.” Sahutku singkat. Segera ku ambil si pink di parkiran sekolah lalu dengan segera beban di jok belakangku bertambah, rinda sudah duduk manis dibelakangku. Kupacu motorku menuju rumah rinda. Ku lihat tira, kanya, dan vera telah sampai duluan di rumah rinda.
“kok lama ?” sahut kanya sambil menarik handphone ditanganku.
“tidak, tadi ada urusan sedikit”. Kata rinda
“makan yuk, cacing perutku sudah konser nih”. Sahut kanya yang kusambut dengan uluran selembar duaribuan. Lalu tak cukup semenit, uang untuk membeli pengganjal perut sudah terkumpul. Seperti biasa, kanya dan tira bertugas untuk membeli makanan. Dengan segera mereka bergegas pergi.
*
“duh... pusing...”. vera membuka halaman bukunya tanpa membaca sedikitpun isinya. Ku lihat kertas-kertasnya sudah kusut karena ulah tangan vera.
“pusing kenapa ? tugas itu lagi ?” kata kanya sambil mencomot butiran-butiran kue kecil dipiring coklat. Kali ini kami memilih berkumpul dirumah vera.
“iya nih... pusing gimana kerjanya”.
“tuh, apagunanya ada sahabat yang berotak encer ?” kata kanya diikuti lirikan mata vera, kanya, tira, dan rinda. Aku yang sudah paham betul maksud mereka langsung bersungut mengambil buku yang sedari tadi bertengger di tangan vera.
“nah gitu kek dari tadi” sahut vera dengan nada lega. Segera otakku bermain dengan kalimat-kalimat soal yang mebuat kepala vera pusing tadi.
Tak berapa lama, aku sudah selesai dengan peperangan kalimat-kalimat yang menurutku tak cukup sulit untuk dituntaskan. Segera ku tutup buku yang tak cukup tebal itu.
“pulang dulu yah, kakakku nunggu nih, pengen pulang bareng aku katanya”. Kataku memecah konsentrasi makan mereka.
“loh ? kok cepat banget ?. tinggal bentar aja bisakan ?”. sahut rinda dengan makanan yang memenuhi mulutnya.
“nggak bisa, kakakku dah buru-buru pengen pulang, udah yah, ku cabut dulu.. daaahh”. ;ambaian tanganku menyumbat mulut mereka yang masih ingin menahan langkahku untuk segera pulang.
*
Pagi yang cerah, seminggu sudah aku menikmati kebebasanku dari tuntutan soal maha susah dari para guru SMA ku. Yah, minggu porseni memang minggu kebebasan para siswa, tak terkecuali aku. Aku yang dikenal rajin belajar pun tak kala senangnya dengan porseni. Beberapa lomba pun sudah aku ikuti. Termasuk lomba puisi. Aku, fio, dan ayu sudah menang telak atas lomba puisi tersebut. Namun keceriaan kami berubah saat farhi memberitahukanku bahwa seseorang keberatan atas kemenangan kami. Farhi memberitahuku dengan penuh rasa takut. Takut kalau-kalau aku akan kecewa  berat dan tidak ingin membantunya menilai lomba vokal dan seni tari. Yah tiap tahun aku selalu menjadi juri kesenian. Entah setelah aku lulus siapa yang akan menjadi penerusku. Bahkan guru kesenianku pun ragu memiliki siswa sepertiku nanti. Itu sih menurut guru kesenianku. Aku merasa banyak yang lebih bisa dariku, walau tak seteliti dengan ku.
“tak apalah dek, kalau memang dia pengen ambil juara ini, biar aja, aku ikhlas kok. Lagipula, aku nggak kejar juara kok, cuman aku kasihan sama teman kelas ku, udah senang aku juara, tapi ujung-ujungnya pengen dibatalin”. Kataku sambil memaksa menarik ujung bibirku. Walau air mataku tak dapat kularang untuk mengalir.
“nggak bisa kak, ini juga harus minta persetujuan kakak, kalau kakak nggak ikhlas, kita nggak bakalan batalin kok kak, udah kakak jangan nangis”. Hibur citra sambil menghapus air mataku dengan ujung jilbabnya.
“udah, nggak apa-apa kok, saya ikhlas... udah farhi, kasih aja, mungkin dengan begini mereka akan merasa puas, aku udah biasa kalah dengan cara begini kok, toh dimata Allah dan teman-temanku kan kakak tetap yang menang”. Kataku kembali sambil tetap mencoba tersenyum walaupun ujung bibirku serasa menyeret beban seberat 50 kilogram.
Kala itu aku mulai berfikir untuk menjauh dari mereka. Yah, aku dan rinda memilih berpisah dari mereka. Hal yang dulu pernah ku katakan sebelumnya, bahwa tak ada yang bernama sahabat di dunia ini, ia hanyalah sebuah ilusi dan alasan untuk memperoleh keuntungan pribadi semata. Selebihnya tak berarti sedikitpun.

Untuk mereka yang telah
meinggalkan bekas mendalam
tentang sahabat.
dariku rezky wachyuni

0 komentar: