Kamis, 27 Desember 2012

GAY


“Zhi, kok melamun ?” suara ibu membuyarkan lamunanku di malam itu. Sejak tadi aku hanya terdiam di beranda depan, memerhatikan dewi malam yang tersenyum indah berhiaskan purnama penuh, begitu menawannya ia.
“bu, kapan yah zhira bisa kayak kak Regha, berbaju putih dengan kacamata keren, teruuuus coret sana-sini di atas kertas putih, tapi hasilnya keren, nda kayak gini lohh”. Kataku dengan nada manja sambil mengangkat hasil cakar ku bersama pensilku. Bentuknya tak simetris, mirip seperti gambar seorang pelukis yang sedang depresi. Ku lihat ibu hanya tersenyum melihat karya konyolku. Perlahan ibu mengusap rambutku. Lembut dan hangat kurasa.
“hmm... coba kakak lihat”. Kertas yang sedari tadi menggelayut manja ditanganku kini dengan lincahnya berdiri tegap ditangan kakakku.
“aaa... itu gambar jelek kakak”. Rayuku manja pada kakakku. Yah, dialah Regha. Regha vhantiko, sarjana arsitek yang super keren, prestasi selangit. Tentunya dalam bidang seni lukis. Apapun yang ditulisnya terlihat indah, meskipun itu hanya coretan-coretan yang menurutnya tak bermakna apapun. Namun dimataku tetap saja bagus. Karya abstrak yang patut dilelang. Berbeda jauh dengan aku. Aku yang ketika menulis namaku saja sudah jelek, apalagi menggambar arsitektur bangunan ? boro-boro ada yang mau beli rancanganku, lihatnya saja sudah mengerikan. Bisa runtuh bangunannya kalau aku yang rancang. Aduh, Dewi Fortuna memang tak hadir untukku saat ku lahir.
“hmm bagus kok, cocok buat dijadiin struktur bangunan”. Gumam kak Regha. Rona merah dipipiku menghias wajahku. Ada rasa bangga bercampur heran dengan komentar kakakku. Gambar menyeramkan kayak gitu kok dibilang bagus ? atau kakakku lagi ngigau yah ? gumamku dalam hati.
“yang bener ah kak ? “. Jawabku tak percaya. Kulihat mata kakakku yang masih sibuk memperhatikan gambarku. Entah apa yang dicarinya.
“beneran deh, cocok banget buat struktur bangunan.. bangunan rumah sakit jiwa ! hahahaha”. Kakaku lalu berlari sambil membawa gambarku yang masih melambai ditangannya. Tak tega gambarku dihinanya, akupun segera mengekor dibelakang kakakku, mengejarnya dengan tatapan gemas, ingin rasanya aku mencubitnya.
“ehhh... sudah.. kalian itu sudah gede-gede kok masih kayak anak kecil”. Ibuku melerai kami yang masih saja bertengkar. Kamipun hanyut dalam tawa renyah. Hingga malam menyelimuti kami dalam lelap.
Mentari menyapa mata ku yang bersinar biru. Seperti biasa, pagi-pagi aku akan berlari kecil mengelilingi kompleks perumahan tempatku tinggal bersama ibu dan kakakku. Ayahku tinggal terpisah denganku. Terkadang ayah akan pulang kerumah, namun hanya sebentar saja beliau harus kembali ke Washington DC. Beliau kerja disana sebagai eksekutif. Ibu tak berminat untuk ikut, namun kami percaya pada ayah, kalau beliau tetap setia pada keluarga kami. Terkadang rasa rindu akan pelukan ayah menyerangku, namun aku harus terbiasa dengan keadaan ini. Lagi pula ayah akan pensiun 5 tahun lagi. Artinya sisa sedikit waktu kami akan berkumpul lagi. Adik perempuanku tinggal di asrama, tahun depan ia akan lulus sekolah, lanjut kuliah dan bekerja. Cita-citanya sebagai guru. Katanya ia sangat suka mengajar. Entahlah mungkin karena ia terlahir dengan bakat yang segudang makanya ia ingin membagi semua ilmunya pada orang lain. Ku akui ia sangat berjiwa sosial. Berbeda dengan orang pada umumnya yang masih individualisme.
Usai melakukan beberapa putaran, akupun berlari kecil menuju rumah, ku lihat kak Regha tengah asyik senam kecil. Aku segera menuju dapur untuk mengambil air putih lalu bergegas lagi keluar. Ku lihat kak Regha masih seperti tadi, melengkungkan tubuhnya kesana kemari, segelas air minum ku taruh di meja. Ku tinggalkan begitu saja, berharap kak Regha melihat air minum itu untuknya.
“wah.. adikku memang baik”. Kak Regha nampak menikmati tegukan pertamanya, namun “bhuk...” ia terbatuk dan...
“zhiraaaaaaaaaa ! awas kamu yahhh “. Teriakan kak Regha hanya ku balas dengan tawa cekikikan dari dalam kamar mandi, air yang ku taruh diatas meja itu memang untuknya, namun sudah kucampur garam terlebih dahulu. Aku memang senang melihat kakakku kalap saat aku menjahilinya.
“gimana airnya ? enak ?”. tanyaku usai mandi. Kulihat ia masih jengkel dengan perbuatanku. Namun ia berusaha menghiraukan cemohanku dan tetap fokus dengan sarapan paginya. Aku segera duduk di hadapannya. Tak sabar melahap nasi goreng buatan ibu. Seperti biasa ibu diam saja melihat tingkah kami yang masih kekanak-kanakan. Perlahan kukunyah nasi yang menggulung dimulutku, dan kurasakan ada yang aneh dilidahku.
“mmmm... huuuhhh... air... “ kataku dengan mulut terengah, ternyata seseorang telah menaruh bom atom pada sarapan pagiku, dan pelakunya tak lain adalah kak Regha. Kulihat tatapan puas dimata birunya saat menertawaiku.
“Regha.. kamu apakan adikmu lagi ?”. tanya ibu lembut namun setengah tertawa melihat wajahku yang merah padam kepedisan.
“tau nih bocah !”. sambungku kesal.
“yeee, siapa juga yang taruh air laut digelas ?” tukasnya tak mau kalah.
“mana ada laut digelas ? dipantai ! dasar sarjana abstrak !” gerutuku setengah meledek.
“mahasiswa eror !”. balasnya.
Usai sarapan aku segera berangkat dengan menggandeng kuda besiku. Aku tak terbiasa dengan mobil. Kak Regha sudah terbiasa dengan mobil. Aku lebih suka naik sepeda motor, karena lebih menantang menurutku. Kak Regha lebih santai dibanding aku, jadi ia lebih memilih naik mobil, kalau kak Regha punya mobil satu, aku punya motor tiga, untuk kuliah, bersantai, dan berpetualang tentunya. Tifha adik perempuanku juga tak tertarik pada mobil. Bahkan ia lebih suka naik sepeda atau jalan kaki, menurutnya itu lebih berseni tinggi. Namun tak jarang ia harus naik motor juga, karena ibu sering uring-uringan saat Tifha memaksa untuk jalan kaki atau bersepeda. Menurut ibu, Tifha harus jadi perempuan tulen, namun sayang Tifha terlalu tomboy, memang ia pandai menari, namun jiwa aslinya adalah petualang sejati.
“zhira, katanya ada yang naksir kakakmu yah ?”. kata-kata itu terus membayangi otakku. Bagaimana kalau kak Regha menikah ? apa ia akan terpisah rumah denganku. Aku memang senang menjahilinya, namun aku sangat sayang padanya.
Usai mata kuliahku berakhir hari ini, aku tak langsung pulang ke rumah, tak biasanya aku seperti ini. Aku bergegas menuju taman kampus. Di sana aku merenung tentang kata-kata itu. Apa benar ada yang suka pada kak Regha ?. ah, mengapa aku jadi seperti ini. Ku tepis pemikiran itu, akupun beranjak pergi meninggalkan rerumputan yang nampak layu bekasku duduk tadi. Mungkin rerumputan tadipun heran melihatku.
Sejak pulang dari kampus, aku hanya diam. Bahkan seringkali ajakan kakakku untuk bercanda ku abaikan begitu saja. Aku tak begitu bersemangat hari ini. Entah karena kata-kata itu atau apa.
“bu, kalau seseorang sudah saling mencintai, apa mereka harus hidup bersama ?” pertanyaan itu membuat mata ibuku sedikit mendelik penuh tanya padaku.
“ada apasih anak ganteng ibu bertanya tentang cinta ? nda biasanya loh “. Jawab ibu merayuku.
“nda kok bu, cuman mau tau aja”. Jawabku sambil terus memperhatikan televisi dihadapanku.
“yah, kalau mereka jodoh dan saling mencintai, kenapa tidak ?”. jawab ibu lembut sambil mengusap rambutku.
“walau itu semua terlarang ?” gumamku pelan. Untung saja ibu tak mendengarnya. Huhh... hampir saja.
Seperti biasa, kak Regha masih bersemangat berolahraga ringan, hanya aku yang nampak berbeda, aku hanya berolahraga kecil tanpa lari. Lalu mandi, dan tanpa menjahili kak Regha.
“heran, anak itu mimpi apa yah ?” gumam Regha memerhatikan sikap adiknya. Ia menyusul langkah adiknya. Ia terhenti saat melihat adiknya sudah duduk tenang di meja makan.
“sakit ?”. tangan Regha menyentuh jidat zhira yang hangat. Namun zhira menepis tangan kakaknya. Regha makin heran. Sebelum kak Regha selesai dengan ritual mandinya, aku segera berangkat ke kampus.
Diperjalanan, aku masih bingung dengan sikapku pagi ini. Aku tak lagi memperhatikan kakakku. Mengapa ?. apa yang salah pada kakakku ?. atau aku yang salah ?. kemarin kami hanya bercanda, namun entah aku mulai berubah sejak pulang kampus kemarin. Aku tak lagi peduli pada kakakku. Di kampus aku hanya diam saja. Tak seperti biasanya, aku akan lari kesana kemari menjahili teman-temanku.
Akhirnya pernikahan itu diselenggarakan juga. Regha vhantiko dan Shilira adyarhandi, setidaknya kedua nama itu yang menghiasi kertas cantik nan mewah, lebih tepatnya disebut undangan pernikahan, benda yang sedari tadi tergeletak pasrah dihadapan Zhira yang terpaku dikamarnya. Ia masih tak percaya hari ini akan datang.
“kak, keluar yuk... nda enak sama tamu kalau kakak nda ada...” suara lembut adikku, Tifha piantira, nampak cantik nan anggun dibalut busana kuning keemasan, nampak serasi dengan kulit putihnya yang bersih. jilbab yang setia bertengger dikepalanya nampak indah membungkus rambutnya.
Ahh... mengapa aku tak tertarik pada wanita macam adikku ?. mengapa harus lelaki seperti kak Regha ?. mengapa aku harus mencintai kakakku sendiri, kakak lelakiku, padahal aku sendiri seorang lelaki. Mengapa aku tak tertarik pada wanita ?. mengapa ?.
Dua tahun berlalu semenjak pernikahan kakakku, aku mulai terbiasa tanpa kakakku, terkadang ia hadir dirumah kami, bersama istrinya yang cantik, dan tentu saja, anaknya yang lucu, hidung dan matanya sangat mirip dengan kak Regha, bibir tipisnya serta pipinya yang merah sangat mirip dengan kak Shilira, istri kakakku.
“zhira, makan yuk “. Suara lembut istriku membuyarkan lamunanku di malam itu. Sejak tadi aku hanya terdiam di beranda depan, memerhatikan dewi malam yang tersenyum indah berhiaskan purnama penuh, begitu menawannya ia, sangat sempurna dengan kehadiran istriku, Tiara gerishaly. Wanita lembut, lulusan fakultas kesehatan yang kini menjadi dokter disalah satu rumah sakit dikota ku ini kini menjadi istriku. Seorang wanita yang berhasil menaklukkan hatiku. Satu-satunya wanita yang berhasil membuatku jatuh hati, jatuh hati yang sesungguhnya, bukan pada lelaki, namun pada wanita.
“tuhan terima kasih telah mengirimkan malaikat Mu yang menawan ini”. Gumamku sambil memerhatika  mata istriku yang indah. Ku kecup kening istriku yang ranum sebagai tanda syukurku atas kehadirannya untukku, menyelamatkanku dari dosa besar akan seorang gay.

0 komentar: