Sabtu, 19 April 2014

Binar Mata Helena


Aku terlahir dengan hanya bisa melihat dunia lewat kedua telinga dan hidung mungilku. Lewat ketiga penglihatan itulah Aku bisa merasakan indahnya dunia. Memang, bagi sebagian orang hal ini cukup aneh kedengarannya. Yah, Aku terlahir sebagai tunanetra. Aku tak tahu apakah ini adalah pembawaan gen atau bukan, yang jelas sejak lahir, dunia lewat kedua mataku hanyalah gelap gulita, Aku tahu bahwa mata ada dua ketika aku meraba wajahku dan kurasakan bahwa ternyata mata ada dua. Secara nyata Aku tak pernah melihatnya. Aku memang buta, namun aku cukup berlebih dalam merasakan kasih sayang kedua orang tuaku. Terutama Ayahku. Yah, sejak kematian Ibu tujuh tahun silam, Aku hanya hidup bersama Ayah di rumah. Orang-orang mengatakan bahwa rumahku cukup mewah dan aku memilki Ayah yang sangat tampan, walau aku tidak bisa melihatnya, namun Aku bisa membayangkannya lewat cerita orang-orang di sekitarku.
“hel, ayo makan, Ayah masak makanan kesukaanmu hari ini”. Suara Ayah memecah lamunanku di sore itu ketika hujan menyelimuti tanah kelahiranku. Aku segera mengikuti langkah Ayah dengan tetap memegang erat pada sebuah tongkat lamaku, tongkat yang selama ini menemaniku. Aku melahap makanan buatan Ayah, Aku tak pernah tahu rupa makanan kesukaanku ini, yang jelas rasanya sangat nikmat. Kata Ayah, makanan ini terbuat dari udang tambak. Akupun tak pernah tahu bentuk udang itu seperti apa.
Usai melahap makan siangku yang agak terlambat, Aku pun dituntun Ayah menuju serambi depan tempatku melamun tadi. Pelan-pelan Ayah menyuapiku dengan hangatnya secangkir teh. Kata Ayah, dulu Ibu selalu membuatkan ku secangkir teh, sekali lagi, Akupun tak tahu begaimana rupanya cangkir itu, dan seperti apakah teh itu. Yang ku tahu teh itu rasanya manis dan mampu membuatku tenang.
“mau ke taman ?” ajak Ayah setelah Aku menghabiskan secangkir teh buatan Ayah. Aku selalu suka ketika Ayah mengajakku ke taman. Biasanya Ayah mengajakku ke taman ketika Ayah sedang lIbur kerja. Kebetulan hari ini hari minggu, Ayah tak masuk kerja. Sehingga Ayah bisa menemaniku hari ini.
Di taman Aku hanya bisa menghirup udara dingin pasca hujan turun, rerumputan basah yang membelai kakiku, kicau burung yang ramai, dinginnya udara, serta cerita-cerita Ayah yang acap kali membuatku tertawa. Kami pun tiba pada suatu tempat yang biasa kami tempati untuk duduk beristirahat sejenak. Menikmati suasana taman di sore hari. Disini, Aku dan Ayah sering menyanyikan lagu “ yang terbaik untukmu”, lagu tentang kasih sayang seorang Ayah, usai menyanyikan lagu itu, Ayah akan memelukku dengan hangat. Aku sangat sayang pada Ayah.
Suatu hari, ketika hari akan menjelma menjadi dewi lelap malam. Aku terbaring di kamarku, seharian ini Aku tak mendengar suara Ayah. Tepat ketika lonceng jam berbunyi menandakan pukul delapan malam, Ayah datang dan mengatakan bahwa esok adalah hari yang sangat indah, lalu Ayah mencium keningku dan Akupun segera bergabung dengan bidadari-bidadari mimpi indahku.
Pagi menjelang, hangat mentari membelai kulitku dengan lembut. Seperti biasa, Aku menikmati sarapan pagiku bersama Ayah. Biasanya setelah sarapan, Ayah akan menuntunku menuju serambi belakang agar Aku dapat memainkan piano kesayanganku, dan Ayah akan segera berlalu menuju kantornya. Namun tidak hari ini, Ayah mengajakku pergi, kata beliau Aku akan segera menikmati indahnya dunia secara sempurna. Aku tak tahu maksud Ayah, namun Aku menurut saja perkataan Ayah.
Aku tiba di suatu tempat dimana Aku dapat merasakan keramaian, bau obat di mana-mana, dan suara sepatu yang sangat riuh di telingaku. Aku tak pernah merasakan suasana seperti ini, ketika Aku bertanya pada Ayah, kita sedang dimana, Ayah hanya menjawab dengan tenang sambil berkata “ kita sedang menanti hari bahagiamu anakku”. Dan Aku pun terdiam kala Ayah menjawab dengan kalimat itu.
Ayah menuntunku menuju sebuah ruangan yang kian terasa aneh, bau obat semakin menusuk hidungku. Lalu seorang yang berkulit lembut menuntunku untuk berbaring, kurasakan kulitnya yang lembut dan bersih. Lalu beberapa saat kemudian Akupun tak lagi merasakan apa-apa.
Ada yang berbeda kini, ketika Aku terbangun, Aku melihat dua orang berbaju putih tengah berdiri dihadapanku, beserta satu orang lainnya. Yah, tepatnya ketika perban mataku dibuka untuk pertama kalinya, dan saat itu pula untuk pertama kalinya Aku melihat ! ya Aku bisa melihat !. ajaib, setelah usiaku beranjak 18 tahun, Aku baru bisa melihat dunia ini. Dunia yang selama ini hanya dapat kurasakan lewat kedua telinga dan hidungku. Kata dokter, lima hari kemudian baru aku boleh pulang. Ada yang aneh, Ayah tak bersamaku. Aku bertanya pada dokter, dimana Ayah, dokter hanya menjawab dengan senyuman lalu berkata Ayah sedang ke kantor.
Tiap malam Aku menunggu Ayah pulang dari kantornya, ingin rasanya Aku menceritakan kepada Ayah bahwa betapa bahagianya Aku bisa melihat dunia ini. Namun, itu tak pernah terjadi. Hingga tiba hari kepulanganku, seorang lelaki paruh baya berjalan dengan menggunakan kedua tongkatnya datang menghampiriku. Dokter lalu menuntun kami menuju pintu rumah sakit, dan kami berdua pulang kerumah. Sepanjang perjalanan Aku berfikir, apakah dia benar-benar Ayahku ?. kata orang Ayahku tampan, tapi yang kulihat sangat jauh dari kata tampan menurutku. Kata orang, rumahku cukup mewah, yah, memang betul, rumah ini cukup asri dengan tumbuhan hijau desekitarnya. Namun satu hal yang tidak bisa Aku terima, yakni tentang Ayah. Jika Aku menggenggam tangannya, memang persis seperti tangan yang biasa membelaiku. Namun Ayah yang ku tahu selama ini yakni Ayah yang sempurna. Saat itu niat untuk tak mengakui Ayah mulai menghantui otakku. Ada segelumit fikiran aneh untuk menyembunyikan keberadaan Ayah dari khalayak umum. Namun bagaimana caranya ? Aku bingung.
Setiap hari Aku hanya sarapan sendiri, yah, Aku belajar sendiri memasak lewat kertas-kertas yang berada di dapur. Aku tak pernah mengajak Ayah untuk makan. Aku sangat risih melihatnya, tubuhnya yang kian kurus dan matanya yang buat membuatku malu untuk mengakuinya. Setiap hari Ayah berusaha hidup sendiri, makan dengan makanan seadanya. Jika ada makanan yang ku taruh di meja maka Ayah memakannya, namun jika ku habiskan semua, Ayah hanya meminum air putih dan beberapa roti yang ia buat sendiri.
Terkadang Aku kasihan melihatnya, namun apa boleh buat. Aku malu mengakuinya sebagai Ayah. Apalagi setelah pernikahanku dengan Nathan, Aku semakin menutupi kabar tentang Ayah. Suatu ketika Nathan berkeinginan membawa ku ke rumah baru kami. Nathan ingin mengajak serta Ayahku, namun Aku menolak dengan dalih Ayah tak mungkin mau meninggalkan rumah kesayangannya. Akhirnya, kami pergi menuju rumah baru kami, tentunya tanpa Ayah. Aku tak berfikir lagi, bagaimana keadaan Ayah di sana. Yang ku fikirkan hanyalah masa depanku bersama Nathan.
Satu, dua, tiga, tahun berlalu, kami telah memiliki seorang buah hati yang lucu, ku beri ia nama Hera Ariesta. Mata beningnya mengingatkanku tentang kelembutan dewi Hera. Aku tak pernah cerita  tentang Ayahku pada sevenka, tentunya Aku hanya berkisah yang baik-baik saja, tak pernah lebih jauh dari itu. Kadang Aku hanya mengarang cerita tentang Ayah. Agar Hera tak malu bergaul pada temannya bahwa ia memilki seorang kakek yang buta.
Suatu malam yang dingin, hujan keras kembali mengguyur kota daeng. Bulan desember memang musim penghujan. Jadi tak heran jika petir dan gemuruh guntur menjadi lagu di tiap malamku. Aku terlelap dalam mimpi yang kelam, saat itu Aku mendengar suara lembut memanggilku, Aku melihat sosok lelaki tunanetra berusia setengah abad tengah kedinginan. Lelaki itu berkata, Helena, Helena, maafkan Ayah. Hanya kedua mata itu yang mampu ku hadiahkan di hari ulang tahunmu. Ayah merindukanmu. Helena... Helena... Ayah mencintaimu.
Itulah sebait kata yang terus mengaung di fikiranku, membuatku terbangun dan terisak ketakutan. Tiba-tiba Aku melihat sosok Ayah di mataku. Aku ketakutan, Aku cemas dengan masa laluku. Aku ingin menemui Ayah. Aku harus menjemput Ayah. Aku harus memohon maaf padanya.
Keesokan harinya ketika kami bertiga tengah menikmati sarapan pagi. Dengan berat hati Aku mengutarakan keinginanku untuk menemui Ayah. Aku mengira Nathan akan murka dengan cerita yang ku sampaikan. Ternyata Aku beruntung memiliki seorang suami yang sabar dan pengertian. Akhirnya, ketika siang menjelang, dimana Hera belum pulang dari sekolahnya, Aku dan Nathan berangkat menuju rumah Ayah.
Rumah itu tampak seperti dulu, hanya beberapa tanamannya tak lagi sesubur dulu, beberapa helai daun kering memenuhi halaman rumah itu. Cat-catnya tampak mengelupas. Sunyi, suasana rumah itu tampak sunyi. Perlahan Aku memasuki rumah itu. Rengekan daun pintu akan haus pelumas engsel sangat nyaring memecah telingAku. Tak ada tanda-tanda kehidupan disana. Aku mendekati kamar Ayah, tampak lantainya yang berdebu. Dan Aku tak menemukan sosok Ayah disana. Ku kelilingi rumah itu dengan harap cemas, namun nihil, sosok Ayah tak ada disana. Aku khawatir, perlahan bayangan mengenai sosok Ayah menggentayangiku. Dengan pasrah Aku meninggalkan pintu rumah itu. Rumah dimana Aku tumbuh besar bersama limpahan kasih sayang dari Ayah Ibuku. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya menghampiriku, lalu berkata “ kau Helena ? Ayahmu telah meninggal dunia dua tahun silam. Berhari-hari ia menanti kedatanganmu. Namun kau tak kunjung datang, ketahuilah kau sungguh kejam meninggalkan Ayahmu seorang diri ! kau sangat berdosa nak !” wanita itu berlalu setelah memberitahuku tentang letak makam Ayah. Secarik kertas diberikan padaku. Katanya Ayah sempat menitipkan surat padanya, surat itu untukku.
Helena ariesta kurmid...
Anakku, bintang hatiku... hari ini kau berulang tahun. Kau sudah dewasa, kau semakin mirip dengan Ibumu. Tak banyak yang dapat Ayah berikan untukmu. Usia Ayah makin berkurang, ajal mungkin saja menjemputku esok hari, atau entah kapan. Sebelum kedua bola mata ini rabun, Ayah hadiahkan untukmu. Agar kau dapat melihat indahnya dunia seperti yang kau impikan selama ini. Helena, ketahuilah bahwa Ayah selalu menyayangimu, meski Ayah tak lagi mampu melihatmu.

Ayah sayang padamu...
Aku histeris membaca surat Ayah. Aku tergetar dipeluk nathan. Segera Aku pergi menuju makam Ayah. Aku menangis dengan sejuta penyesalanku. Sekarang dihadapanku hanyalah tumpukan tanah bernisankan nama Ayah, terkubur bersama kenangan manis tentang kasih sayang Ayah.
Aku, terisak menyimak cerita dari kawan baikku Helena, Aku lega ia telah mampu mengungkapkan ceritanya dengan penuh rasa penyesalannya. Meski Aku tahu, semua penyesalan itu takkan membangkitkan Ayahnya dari liang lahat. Selamat jalan Ayah yang mulia. Matamu akan selalu berbinar di wajahku. Itulah sebait kata maaf dari Helena.

0 komentar: