Senin, 11 November 2013

Buku biru dan cita-cita Sarah
Rezky wachyuni
Siang yang begitu terik. Menghembuskan udara panas di atas jalanan berbatu desa kecil tempatku tinggal. Siang yang begitu berarti bagiku, karena sebentar lagi bus jurusan Bekasi-Yogyakarta akan mengantarku bersama impian ku menjadi dokter munuju gerbang kesuksesan. rasanya baru kemarin pesta kelulusanku dirayakan, padahal sudah satu bulan berlalu ia pergi meninggalkan masa SMA bersama kenangan manis remajaku. Ku buka lembar demi lembar buku harian biruku. Tersisa cerita-cerita masa remajaku disana, terangkai dalam kata-kata yang murni akan kepolosan remaja.
...
“yakin kamu mau ke jogja le ? udah dipikirin matang-matang emangnya ?”. kata Emak seiring hembusan nafas tuanya yang kian membuatku sedih. ada rasa sedih juga harus meninggalkan Emak di desa ini. Bukannya takut akan bahaya, desa ini sangat aman. Apalagi desa ini sudah bersahabat dengan ibuku sejak beliau masih jaman kanak-kanak dulu. Bapak juga lahir di desa ini. Beliau juga mengabdi sebagai petani di desa ini pula. Meski keluargaku mengolah sawah dan kebun milik sendiri tapi itu bukan alasan bagiku untuk tetap tinggal di desa ini. Aku harus mengejar cita-citaku. Adikku Nilam dan Sandi masih SD. Nilam berusia tiga tahun lebih muda dari Sandi. Tahun depan, kalau Tuhan mengijinkan, Sandi akan menjejakkan kaki di sekolah menengah pertama, sekolah putih biru pertama dan satu-satunya yang ada di desaku. Kami juga hanya memiliki satu sekolah menengah atas. Jadi bisa dibayangkan jumlah penduduk di desa kami cuman seberapa.
“yakinlah Mak, wong aku sudah siap jauh-jauh hari sebelumnya, Emak kan sudah tahu betul Sarah kepengen raih cita-cita Sarah buat jadi dokter, kan Sarah pengen ngebahagiain Emak sama Bapak, juga pengen lihat Sandi sama Nilam jadi orang besar juga”. Jawabku sembari memasukkan beberapa potong Pakaian ke dalam koperku yang tak seberapa besar, tak lupa juga ku masukkan beberapa lembar buku ke dalam tas ranselku, dan tentunya peralatan lainnya yang sudah ku kePak dalam dos. Ku hampiri Emak yang sedari tadi duduk di tepi ranjang kamarku. Ku tatap lekat wajah beliau, terlihat jelas kerutan disana-sini, menandakan usianya yang semakin senja. Rambutnya yang mulai memutih menggambarkan fikirannya yang berat dihimpit masalah ekonomi keluarga. ku lihat beberapa titik air mulai menggunung disudut mata beliau. Ahh, aku tak ingin melihat air mata Emak menetes, sEmakin memberatkan langkahku menuju dunia baruku.
“Emak sayang sama kamu, kan kamu bisa terima lamaran anak Pak kades saja, jadi kamu nda perlu jauh-jauh cari kehidupan di kota orang”. Air mata Emak mulai mengalir perlahan membasahi guratan-guratan halus diwajahnya. Seminggu setelah kelulusanku, Edin diantar ayahnya yang kebetulan kepala desa kami datang melamarku. Namun fikiranku tidak sependek itu untuk langsung menerima Edin. Meskipun Eding sudah menjadi guru tetap disalah satu SMP di kota bekasi, namun aku belum siap menikah. Lagipula cita-citaku masih ingin kuraih dengan semangat yang membara.
“Sarah juga sayang Emak, kalau Emak sayang sama Sarah, Emak harus restu lihat Sarah jadi dokter”. Sahutku sambil menahan air mataku. Hatiku terasa perih melihat Emak yang berat melepas kepergianku.
“ya sudah, kalau tekadmu sudah bulat, Emak titip pesan buat kamu, jaga diri baik-baik, jangan nakal di kota orang, apalagi kamu tinggal sendiri. Kalau mau pulang kamu mampir dulu ke rumah pa’lemu. Tapi kalau kamu bosan tinggal sendiri terus berubah fikiran, kamu tinggal saja di rumah pa’lemu. Jadi anak yang baik, jangan mau bicara sama orang yang nda kamu kenal. Jangan lupa salat, ingat Allah selalu, belajar yang rajin, jangan bantah gurumu, mereka orang tua kamu juga, jangan bergaul sembarangan, jangan takabur, jangan sombong, kita cuman manusia kecil, yang punya segalanya itu yang diatas, jangan lupa makan, jangan lupa nelpon ke rumah kalau kamu nda sibuk”. Ceramah khas seorang ibu yang membuat air mataku tak sanggup ku bendung lagi. Aku lunglai dipeluk kasih Emak. Kurasakan kasih sayang Emak yang tulus membelai tiap sudut jiwaku.
“assalamualaikum, bu, Sarah, Bapak pulang”. Suara Bapak membuyarkan keharuan yang memenuhi kamar ku yang sederhana. Bapak baru saja pulang dari kebun. Kebun warisan Kakek. Kebun yang menjadi tiang penghidupan keluarga kami agar tak merasa kelaparan. Kebun yang sanggup membayar biaya sekolah kami bertiga demi memenuhi hasrat keingintahuan akan ilmu pengetahuan yang maha luas.
“waalaikumsalam” jawabku serentak dengan suara serak Emak. Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu. Ku lihat Bapak yang terduduk lelah. Tatapannya lurus melihat barang-barang yang sudah rapi ku susun untuk ku bawa ke jogja. Terlihat bayangan kesedihan diwajahnya. aku semakin sedih karenanya. Bapak yang selalu menjadi pahlawan dalam hidupku. Meskipun beliau lelah, namun tak pernah sekalipun kata keluh kesah terlontar dari mulut beliau. Hanya kata-kata lembut penuh kasih sayang yang senantiasa beliau ucapkan. Perlahan tangan mungil memelukku dari belakang. Nilam, adikku yang sedari tadi mengurung diri dalam kamarnya terlihat sedih pula dengan rencana kepergianku. Matanya yang sembab menyisakan kesedihan yang ia sudah tumpahkan sejak pulang sekolah. Sandi mungkin sedang dalam perjalanan pulang dari sekolahnya. Aku memang sengaja belum berangkat, menunggu anggota keluargaku lengkap terlebih dahulu. Aku ingin melihat mereka tersenyum mengantarku menuju gerbang kesuksesan. menuju tembok keberhasilan yang telah lama kubangun bersama mimpi indahku akan kehidupan yang lebih cerah ceria.
“kakak jangan lama yah disana, ulang tahun Nilam kakak pulang yah, kalau Nilam naik kelas nanti kakak pulang kesini yah, ikut Nilam terima rapor Nilam”. Adik kecilku mulai terisak kembali. Aku membungkukkan badan lalu memeluknya erat, sangat erat hingga rasanya tak ingin lepas.
*
“jaga diri baik-baik yah”. Ucap Bapak sembari mengusap air mataku yang kian deras. Kakiku semakin lemas menahan sedih.
“Sarah janji pulang kalau Sarah sempat kok Pak”. Ujarku mengakhiri drama tangis keluargaku. Lambaian tangan keluargaku serta teman masa kecilku makin menjauh. Bus jurusan Bekasi-Jogja membawa tubuhku bersama impian yang kugenggam erat. Jalanan desa yang belum rata membuat bus sedikit terguncang. Aku yang tidak terbiasa naik mobil mulai merasa mual, ku tutup rapat mataku agar aku tak merasakan mual yang lebih hebat.
*
“Rah, kamu kangen Emak kamu yah ?”. kata-kata nina memecah lamunanku diatas foto keluargaku yang berbingkai hijau lumut. Sedari tadi aku hanya terdiam memandangi foto mereka. Sudah dua tahun aku tak pulang ke desaku. Rinduku memang terbayarkan sedikit dengan suara mereka via telepon. Sebulan setelah aku lulus masuk ke perguruan tinggi negeri jurusan kedokteran di yogyakarta, aku mengirimi Emak telepon rumah. Ku titip pada sepupu dekatku yang kebetulan ingin bertandang ke desaku. Namun rasa rindu pada mereka tidak terbayar sepenuhnya. Ingin rasanya aku memeluk mereka. Seberapa besarkah Nilam dan Sandi sekarang ? apakah cadelnya Nilam masih setia melekat dilidahnya ?. batinku.
“eh, anu Na, iya, kangen nih sama Emak sama Bapak, apalagi Nilam sama Sandi, udah segede apa yah mereka ?”. ujarku pelan tanpa melepas pandangan pada foto keluargaku.
“udah, kan tinggal dua tahun lagi kita lulus, terus jadi dokter, yah kamu bisa pulang deh ke kampung. Aku juga kangen sama udara bogor beserta keluarga kecilku yang hangat”. Ucap nina sambil menyeruput teh hangat dihapadannya.
Kuletakkan foto keluargaku di meja belajarku. Au dan Nina satu kost, tetangga kamar. Dalam satu kost kami cuman ada sepuluh orang, hanya saja aku lebih sering ngumpul dengan Nina dan Lifah. Mereka berjilbab, rajin sholat, setiap pukul dua subuh mereka datang ke kamarku, membangunkanku untuk segera salat tahadjud. Mereka sangat baik padaku. Padahal Lifah terbilang lebih berada ketimbang diriku. Nina masih lebih cukup dari pada aku. Yah bisa dibilang kalau diantara kami, akulah yang paling pas-pasan. Namun, Lifah dan Nina tak suka dengan gaya hidup mewah, orang tua mereka juga tak mendidik mereka dengan kemewahan, namun dengan kesederhanaan. Itulah yang membuatku nyaman dengan mereka.
*
“assalamualaikum, Nilam, Emak mana ?”. ujarku pada Nilam melalui telepon. Suaraku gemetar tak mampu menyembunyikan rasa khawatir yang bercampur kesedihan. Pa’le baru saja berpulang. Beliau sudah menyerah setelah perjuangan sengit melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Akhirnya seiring dengan azan subuh yang berkumandang, hembusan nafas pa’lepun menerbangkan jiwanya menuju keabadian yang sesungguhnya.
Jenazah pa’le diantar ke desaku sore ini, akupun turut mengantar jenazah pa’le. Ku titip laporan pasien yang belum sempat ku rampungkan hari ini pada asistenku. Pa’le berjuang hingga akhir di rumah sakit tempatku bekerja. rumah sakit umum Bekasi merupakan saksi bisu kepergian pa’le. Setidaknya aku sudah mengabdikan diriku untuk pa’le. Aku sudah mewujudkan keinginan terbesar pa’le. Beliau pernah berkata, kalau beliau sangat ingin memiliki keluarga seorang dokter yang mampu merawat beliau kala sakit. Aku bangga telah mewujudkan keinginan beliau. Dan kini harapan beliau telah terbang tinggi bersama jiwanya yang tenang. Begitupun dengan cita-citaku yang kini menari dengan bebasnya di cakrawala kehidupan. Cita-cita yang membawa Emak, Bapak menuju kehidupan yang diimpikan oleh mereka. Impian yang menggiring langkah Nilam dan Sandi, adik- adik emasku menuju kesuksesan yang mereka genggam. Yah, kalian juga bisa. Kalian harus bisa.
*

Siang yang begitu terik. Menghembuskan udara panas di atas jalanan aspal desa kecil tempatku tinggal. Ku seruput hangatnya teh manis buatan Nilam adikku. Ku tutup buku harianku. Ku lihat beberapa tetesan air mataku membasahi lembaran birunya. Buku harian yang menjadi saksi bisu perjalanan ku menuju tangga kesuksesan.

0 komentar: