Aku
terlahir dengan hanya bisa melihat dunia lewat kedua telinga dan hidung
mungilku. Lewat ketiga penglihatan itulah Aku bisa merasakan indahnya dunia. Memang,
bagi sebagian orang hal ini cukup aneh kedengarannya. Yah, Aku terlahir sebagai
tunanetra. Aku tak tahu apakah ini adalah pembawaan gen atau bukan, yang jelas
sejak lahir, dunia lewat kedua mataku hanyalah gelap gulita, Aku tahu bahwa mata ada dua ketika aku meraba wajahku dan
kurasakan bahwa ternyata mata ada dua. Secara nyata Aku tak pernah melihatnya. Aku
memang buta, namun aku cukup berlebih dalam merasakan kasih sayang kedua orang tuaku. Terutama Ayahku. Yah, sejak
kematian Ibu
tujuh tahun silam, Aku hanya hidup bersama Ayah di rumah. Orang-orang mengatakan bahwa rumahku
cukup mewah dan aku memilki Ayah yang sangat tampan, walau aku tidak bisa melihatnya, namun Aku bisa membayangkannya lewat cerita
orang-orang di sekitarku.
“hel, ayo makan, Ayah
masak makanan kesukaanmu hari ini”. Suara Ayah memecah lamunanku di sore itu
ketika hujan menyelimuti tanah kelahiranku. Aku segera mengikuti langkah Ayah
dengan tetap memegang erat pada sebuah tongkat lamaku, tongkat yang selama
ini menemaniku. Aku melahap makanan buatan Ayah, Aku tak pernah tahu rupa
makanan kesukaanku ini, yang jelas rasanya sangat nikmat. Kata Ayah, makanan
ini terbuat dari udang tambak. Akupun tak pernah tahu bentuk udang itu seperti
apa.
Usai melahap makan
siangku yang agak terlambat, Aku pun dituntun Ayah menuju serambi depan tempatku melamun tadi. Pelan-pelan
Ayah menyuapiku dengan hangatnya secangkir teh. Kata Ayah, dulu Ibu selalu
membuatkan ku secangkir teh, sekali lagi, Akupun tak tahu begaimana rupanya
cangkir itu, dan seperti apakah teh itu. Yang ku tahu teh itu rasanya manis dan
mampu membuatku tenang.
“mau ke taman ?”
ajak Ayah setelah Aku menghabiskan secangkir teh buatan Ayah. Aku selalu suka
ketika Ayah mengajakku ke taman. Biasanya Ayah mengajakku ke taman ketika Ayah
sedang lIbur kerja. Kebetulan hari ini hari minggu, Ayah tak masuk kerja. Sehingga
Ayah bisa menemaniku hari ini.
Di taman Aku hanya
bisa menghirup udara dingin pasca hujan turun, rerumputan basah yang membelai
kakiku, kicau burung yang ramai, dinginnya udara, serta cerita-cerita Ayah yang
acap kali membuatku tertawa. Kami pun tiba pada suatu tempat yang biasa kami
tempati untuk duduk beristirahat sejenak. Menikmati suasana taman di sore hari.
Disini, Aku dan Ayah sering menyanyikan lagu “ yang terbaik untukmu”, lagu
tentang kasih sayang seorang Ayah, usai menyanyikan lagu itu, Ayah akan
memelukku dengan hangat. Aku sangat sayang pada Ayah.
Suatu hari, ketika
hari akan menjelma menjadi dewi lelap malam. Aku terbaring di kamarku, seharian
ini Aku tak mendengar suara Ayah. Tepat ketika lonceng jam berbunyi menandakan
pukul delapan malam, Ayah datang dan mengatakan bahwa esok adalah hari yang
sangat indah, lalu Ayah mencium keningku dan Akupun segera bergabung dengan
bidadari-bidadari mimpi indahku.
Pagi menjelang,
hangat mentari membelai kulitku dengan lembut. Seperti biasa, Aku menikmati
sarapan pagiku bersama Ayah. Biasanya setelah sarapan, Ayah akan menuntunku
menuju serambi belakang agar Aku dapat memainkan piano kesayanganku, dan Ayah
akan segera berlalu menuju kantornya. Namun tidak hari ini, Ayah mengajakku
pergi, kata beliau Aku akan segera menikmati indahnya dunia secara sempurna. Aku
tak tahu maksud Ayah, namun Aku menurut saja perkataan Ayah.
Aku tiba di suatu
tempat dimana Aku dapat merasakan keramaian, bau obat di mana-mana, dan suara
sepatu yang sangat riuh di telingaku. Aku tak pernah merasakan suasana seperti ini, ketika Aku bertanya
pada Ayah, kita sedang dimana, Ayah hanya menjawab dengan tenang sambil berkata
“ kita sedang menanti hari bahagiamu anakku”. Dan Aku pun terdiam kala Ayah
menjawab dengan kalimat itu.
Ayah menuntunku
menuju sebuah ruangan yang kian terasa aneh, bau obat semakin menusuk hidungku.
Lalu seorang yang berkulit lembut menuntunku untuk berbaring, kurasakan
kulitnya yang lembut dan bersih. Lalu beberapa saat kemudian Akupun tak lagi
merasakan apa-apa.
Ada yang berbeda
kini, ketika Aku terbangun, Aku melihat dua orang berbaju putih tengah berdiri
dihadapanku, beserta satu orang lainnya. Yah, tepatnya ketika perban mataku dibuka untuk pertama
kalinya, dan saat itu pula untuk pertama kalinya Aku melihat ! ya Aku bisa
melihat !. ajaib, setelah usiaku beranjak 18 tahun, Aku baru bisa melihat dunia ini. Dunia yang
selama ini hanya dapat kurasakan lewat kedua telinga dan hidungku. Kata dokter,
lima hari kemudian baru aku boleh pulang. Ada yang aneh, Ayah tak bersamaku. Aku bertanya pada
dokter, dimana Ayah, dokter hanya menjawab dengan senyuman lalu berkata Ayah
sedang ke kantor.
Tiap malam Aku
menunggu Ayah pulang dari kantornya, ingin rasanya Aku menceritakan kepada Ayah
bahwa betapa bahagianya Aku bisa melihat dunia ini. Namun, itu tak pernah
terjadi. Hingga tiba hari kepulanganku, seorang lelaki paruh baya berjalan
dengan menggunakan kedua tongkatnya datang menghampiriku. Dokter lalu menuntun
kami menuju pintu rumah sakit, dan kami berdua pulang kerumah. Sepanjang
perjalanan Aku berfikir, apakah dia benar-benar Ayahku ?. kata orang Ayahku
tampan, tapi yang kulihat sangat jauh dari kata tampan menurutku. Kata orang,
rumahku cukup mewah, yah, memang betul, rumah ini cukup asri dengan tumbuhan
hijau desekitarnya. Namun satu hal yang tidak bisa Aku terima, yakni tentang Ayah.
Jika Aku menggenggam tangannya, memang persis seperti tangan yang biasa
membelaiku. Namun Ayah yang ku tahu selama ini yakni Ayah yang sempurna. Saat
itu niat untuk tak mengakui Ayah mulai menghantui otakku. Ada segelumit fikiran aneh untuk
menyembunyikan keberadaan Ayah dari khalayak umum. Namun bagaimana caranya ? Aku
bingung.
Setiap hari Aku
hanya sarapan sendiri, yah, Aku belajar sendiri memasak lewat kertas-kertas
yang berada di dapur. Aku tak pernah mengajak Ayah untuk makan. Aku sangat
risih melihatnya, tubuhnya yang kian kurus dan matanya yang buat membuatku malu
untuk mengakuinya.
Setiap hari Ayah berusaha hidup sendiri, makan dengan makanan seadanya. Jika
ada makanan yang ku taruh di meja maka Ayah memakannya, namun jika ku habiskan
semua, Ayah hanya meminum air putih dan beberapa roti yang ia buat sendiri.
Terkadang Aku
kasihan melihatnya, namun apa boleh buat. Aku malu mengakuinya sebagai Ayah. Apalagi
setelah pernikahanku dengan Nathan, Aku semakin menutupi kabar tentang Ayah. Suatu ketika Nathan berkeinginan
membawa ku ke rumah baru kami. Nathan ingin mengajak serta Ayahku, namun Aku
menolak dengan dalih Ayah tak mungkin mau meninggalkan rumah kesayangannya. Akhirnya,
kami pergi menuju rumah baru kami, tentunya tanpa Ayah. Aku tak berfikir lagi,
bagaimana keadaan Ayah di sana. Yang ku fikirkan hanyalah masa depanku bersama Nathan.
Satu, dua, tiga,
tahun berlalu, kami telah memiliki seorang buah hati yang lucu, ku beri ia nama
Hera Ariesta. Mata beningnya
mengingatkanku tentang kelembutan dewi Hera. Aku tak pernah cerita tentang Ayahku pada sevenka, tentunya Aku
hanya berkisah yang baik-baik saja, tak pernah lebih jauh dari itu. Kadang Aku
hanya mengarang cerita tentang Ayah. Agar Hera tak malu bergaul pada temannya bahwa ia
memilki seorang kakek yang buta.
Suatu malam yang
dingin, hujan keras kembali mengguyur kota daeng. Bulan desember memang musim
penghujan. Jadi tak heran jika petir dan gemuruh guntur menjadi lagu di tiap
malamku. Aku terlelap dalam mimpi yang kelam, saat itu Aku mendengar suara
lembut memanggilku, Aku melihat sosok lelaki tunanetra berusia setengah abad
tengah kedinginan. Lelaki itu berkata, Helena, Helena, maafkan Ayah. Hanya
kedua mata itu yang mampu ku hadiahkan di hari ulang tahunmu. Ayah
merindukanmu. Helena... Helena... Ayah mencintaimu.
Itulah sebait kata
yang terus mengaung di fikiranku, membuatku terbangun dan terisak ketakutan. Tiba-tiba Aku
melihat sosok Ayah di mataku. Aku ketakutan, Aku cemas dengan masa laluku. Aku ingin menemui Ayah. Aku harus
menjemput Ayah. Aku harus memohon maaf padanya.
Keesokan harinya
ketika kami bertiga tengah menikmati sarapan pagi. Dengan berat hati Aku
mengutarakan keinginanku untuk menemui Ayah. Aku mengira Nathan akan murka dengan
cerita yang ku sampaikan. Ternyata Aku beruntung memiliki seorang suami yang
sabar dan pengertian. Akhirnya, ketika siang menjelang, dimana Hera belum
pulang dari sekolahnya, Aku dan Nathan berangkat menuju rumah Ayah.
Rumah itu tampak
seperti dulu, hanya beberapa tanamannya tak lagi sesubur dulu, beberapa helai
daun kering memenuhi halaman rumah itu. Cat-catnya tampak mengelupas. Sunyi,
suasana rumah itu tampak sunyi. Perlahan Aku memasuki rumah itu. Rengekan daun
pintu akan haus pelumas engsel sangat nyaring memecah telingAku. Tak ada
tanda-tanda kehidupan disana. Aku mendekati kamar Ayah, tampak lantainya yang
berdebu. Dan Aku tak menemukan sosok Ayah disana. Ku kelilingi rumah itu dengan
harap cemas, namun nihil, sosok Ayah tak ada disana. Aku khawatir, perlahan
bayangan mengenai sosok Ayah menggentayangiku. Dengan pasrah Aku meninggalkan
pintu rumah itu. Rumah dimana Aku tumbuh besar bersama limpahan kasih sayang
dari Ayah Ibuku. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya menghampiriku, lalu
berkata “ kau Helena ? Ayahmu telah meninggal dunia dua tahun silam. Berhari-hari
ia menanti kedatanganmu. Namun kau tak kunjung datang, ketahuilah kau sungguh
kejam meninggalkan Ayahmu seorang diri ! kau sangat berdosa nak !” wanita itu
berlalu setelah memberitahuku tentang letak makam Ayah. Secarik kertas
diberikan padaku. Katanya Ayah sempat menitipkan surat padanya, surat itu untukku.
Helena ariesta kurmid...
Anakku, bintang hatiku... hari ini kau berulang tahun. Kau
sudah dewasa, kau semakin mirip dengan Ibumu. Tak banyak yang dapat Ayah
berikan untukmu. Usia Ayah makin berkurang, ajal mungkin saja menjemputku esok
hari, atau entah kapan. Sebelum kedua bola mata ini rabun, Ayah hadiahkan
untukmu. Agar kau dapat melihat indahnya dunia seperti yang kau impikan selama
ini. Helena, ketahuilah bahwa Ayah selalu menyayangimu, meski Ayah tak lagi
mampu melihatmu.
Ayah sayang padamu...
Aku histeris membaca surat Ayah. Aku tergetar
dipeluk nathan. Segera Aku pergi menuju makam Ayah. Aku menangis dengan sejuta
penyesalanku. Sekarang dihadapanku hanyalah tumpukan tanah bernisankan nama Ayah,
terkubur bersama kenangan manis tentang kasih sayang Ayah.
Aku, terisak menyimak cerita dari kawan
baikku Helena, Aku lega ia telah mampu mengungkapkan ceritanya dengan penuh
rasa penyesalannya. Meski Aku tahu, semua penyesalan itu takkan membangkitkan Ayahnya
dari liang lahat. Selamat jalan Ayah yang mulia. Matamu akan selalu berbinar di
wajahku. Itulah sebait kata maaf dari Helena.
0 komentar:
Posting Komentar