“Zhi, kok melamun ?” suara ibu membuyarkan lamunanku di malam itu. Sejak
tadi aku hanya terdiam di beranda depan, memerhatikan dewi malam yang tersenyum
indah berhiaskan purnama penuh, begitu menawannya ia.
“bu, kapan yah zhira bisa kayak kak Regha, berbaju putih dengan
kacamata keren, teruuuus coret sana-sini di atas kertas putih, tapi hasilnya
keren, nda kayak gini lohh”. Kataku dengan nada manja sambil mengangkat hasil
cakar ku bersama pensilku. Bentuknya tak simetris, mirip seperti gambar seorang
pelukis yang sedang depresi. Ku lihat ibu hanya tersenyum melihat karya
konyolku. Perlahan ibu mengusap rambutku. Lembut dan hangat kurasa.
“hmm... coba kakak lihat”. Kertas yang sedari tadi menggelayut manja
ditanganku kini dengan lincahnya berdiri tegap ditangan kakakku.
“aaa... itu gambar jelek kakak”. Rayuku manja pada kakakku. Yah, dialah
Regha. Regha vhantiko, sarjana arsitek yang super keren, prestasi selangit. Tentunya
dalam bidang seni lukis. Apapun yang ditulisnya terlihat indah, meskipun itu
hanya coretan-coretan yang menurutnya tak bermakna apapun. Namun dimataku tetap
saja bagus. Karya abstrak yang patut dilelang. Berbeda jauh dengan aku. Aku
yang ketika menulis namaku saja sudah jelek, apalagi menggambar arsitektur
bangunan ? boro-boro ada yang mau beli rancanganku, lihatnya saja sudah
mengerikan. Bisa runtuh bangunannya kalau aku yang rancang. Aduh, Dewi Fortuna
memang tak hadir untukku saat ku lahir.
“hmm bagus kok, cocok buat dijadiin struktur bangunan”. Gumam kak Regha.
Rona merah dipipiku menghias wajahku. Ada rasa bangga bercampur heran dengan
komentar kakakku. Gambar menyeramkan kayak gitu kok dibilang bagus ? atau
kakakku lagi ngigau yah ? gumamku dalam hati.
“yang bener ah kak ? “. Jawabku tak percaya. Kulihat mata kakakku yang
masih sibuk memperhatikan gambarku. Entah apa yang dicarinya.
“beneran deh, cocok banget buat struktur bangunan.. bangunan rumah
sakit jiwa ! hahahaha”. Kakaku lalu berlari sambil membawa gambarku yang masih
melambai ditangannya. Tak tega gambarku dihinanya, akupun segera mengekor
dibelakang kakakku, mengejarnya dengan tatapan gemas, ingin rasanya aku
mencubitnya.
“ehhh... sudah.. kalian itu sudah gede-gede kok masih kayak anak kecil”.
Ibuku melerai kami yang masih saja bertengkar. Kamipun hanyut dalam tawa
renyah. Hingga malam menyelimuti kami dalam lelap.
Mentari menyapa mata ku yang bersinar biru. Seperti biasa, pagi-pagi
aku akan berlari kecil mengelilingi kompleks perumahan tempatku tinggal bersama
ibu dan kakakku. Ayahku tinggal terpisah denganku. Terkadang ayah akan pulang
kerumah, namun hanya sebentar saja beliau harus kembali ke Washington DC. Beliau
kerja disana sebagai eksekutif. Ibu tak berminat untuk ikut, namun kami percaya
pada ayah, kalau beliau tetap setia pada keluarga kami. Terkadang rasa rindu
akan pelukan ayah menyerangku, namun aku harus terbiasa dengan keadaan ini. Lagi
pula ayah akan pensiun 5 tahun lagi. Artinya sisa sedikit waktu kami akan
berkumpul lagi. Adik perempuanku tinggal di asrama, tahun depan ia akan lulus
sekolah, lanjut kuliah dan bekerja. Cita-citanya sebagai guru. Katanya ia
sangat suka mengajar. Entahlah mungkin karena ia terlahir dengan bakat yang
segudang makanya ia ingin membagi semua ilmunya pada orang lain. Ku akui ia
sangat berjiwa sosial. Berbeda dengan orang pada umumnya yang masih
individualisme.
Usai melakukan beberapa putaran, akupun berlari kecil menuju rumah, ku
lihat kak Regha tengah asyik senam kecil. Aku segera menuju dapur untuk
mengambil air putih lalu bergegas lagi keluar. Ku lihat kak Regha masih seperti
tadi, melengkungkan tubuhnya kesana kemari, segelas air minum ku taruh di meja.
Ku tinggalkan begitu saja, berharap kak Regha melihat air minum itu untuknya.
“wah.. adikku memang baik”. Kak Regha nampak menikmati tegukan
pertamanya, namun “bhuk...” ia terbatuk dan...
“zhiraaaaaaaaaa ! awas kamu yahhh “. Teriakan kak Regha hanya ku balas
dengan tawa cekikikan dari dalam kamar mandi, air yang ku taruh diatas meja itu
memang untuknya, namun sudah kucampur garam terlebih dahulu. Aku memang senang
melihat kakakku kalap saat aku menjahilinya.
“gimana airnya ? enak ?”. tanyaku usai mandi. Kulihat ia masih jengkel
dengan perbuatanku. Namun ia berusaha menghiraukan cemohanku dan tetap fokus
dengan sarapan paginya. Aku segera duduk di hadapannya. Tak sabar melahap nasi
goreng buatan ibu. Seperti biasa ibu diam saja melihat tingkah kami yang masih
kekanak-kanakan. Perlahan kukunyah nasi yang menggulung dimulutku, dan
kurasakan ada yang aneh dilidahku.
“mmmm... huuuhhh... air... “ kataku dengan mulut terengah, ternyata
seseorang telah menaruh bom atom pada sarapan pagiku, dan pelakunya tak lain
adalah kak Regha. Kulihat tatapan puas dimata birunya saat menertawaiku.
“Regha.. kamu apakan adikmu lagi ?”. tanya ibu lembut namun setengah
tertawa melihat wajahku yang merah padam kepedisan.
“tau nih bocah !”. sambungku kesal.
“yeee, siapa juga yang taruh air laut digelas ?” tukasnya tak mau
kalah.
“mana ada laut digelas ? dipantai ! dasar sarjana abstrak !” gerutuku
setengah meledek.
“mahasiswa eror !”. balasnya.
Usai sarapan aku segera berangkat dengan menggandeng kuda besiku. Aku
tak terbiasa dengan mobil. Kak Regha sudah terbiasa dengan mobil. Aku lebih
suka naik sepeda motor, karena lebih menantang menurutku. Kak Regha lebih
santai dibanding aku, jadi ia lebih memilih naik mobil, kalau kak Regha punya
mobil satu, aku punya motor tiga, untuk kuliah, bersantai, dan berpetualang
tentunya. Tifha adik perempuanku juga tak tertarik pada mobil. Bahkan ia lebih
suka naik sepeda atau jalan kaki, menurutnya itu lebih berseni tinggi. Namun
tak jarang ia harus naik motor juga, karena ibu sering uring-uringan saat Tifha
memaksa untuk jalan kaki atau bersepeda. Menurut ibu, Tifha harus jadi
perempuan tulen, namun sayang Tifha terlalu tomboy, memang ia pandai menari,
namun jiwa aslinya adalah petualang sejati.
“zhira, katanya ada yang naksir kakakmu yah ?”. kata-kata itu terus
membayangi otakku. Bagaimana kalau kak Regha menikah ? apa ia akan terpisah
rumah denganku. Aku memang senang menjahilinya, namun aku sangat sayang
padanya.
Usai mata kuliahku berakhir hari ini, aku tak langsung pulang ke rumah,
tak biasanya aku seperti ini. Aku bergegas menuju taman kampus. Di sana aku
merenung tentang kata-kata itu. Apa benar ada yang suka pada kak Regha ?. ah,
mengapa aku jadi seperti ini. Ku tepis pemikiran itu, akupun beranjak pergi
meninggalkan rerumputan yang nampak layu bekasku duduk tadi. Mungkin rerumputan
tadipun heran melihatku.
Sejak pulang dari kampus, aku hanya diam. Bahkan seringkali ajakan
kakakku untuk bercanda ku abaikan begitu saja. Aku tak begitu bersemangat hari
ini. Entah karena kata-kata itu atau apa.
“bu, kalau seseorang sudah saling mencintai, apa mereka harus hidup
bersama ?” pertanyaan itu membuat mata ibuku sedikit mendelik penuh tanya padaku.
“ada apasih anak ganteng ibu bertanya tentang cinta ? nda biasanya loh “.
Jawab ibu merayuku.
“nda kok bu, cuman mau tau aja”. Jawabku sambil terus memperhatikan
televisi dihadapanku.
“yah, kalau mereka jodoh dan saling mencintai, kenapa tidak ?”. jawab
ibu lembut sambil mengusap rambutku.
“walau itu semua terlarang ?” gumamku pelan. Untung saja ibu tak
mendengarnya. Huhh... hampir saja.
Seperti biasa, kak Regha masih bersemangat berolahraga ringan, hanya
aku yang nampak berbeda, aku hanya berolahraga kecil tanpa lari. Lalu mandi,
dan tanpa menjahili kak Regha.
“heran, anak itu mimpi apa yah ?” gumam Regha memerhatikan sikap
adiknya. Ia menyusul langkah adiknya. Ia terhenti saat melihat adiknya sudah
duduk tenang di meja makan.
“sakit ?”. tangan Regha menyentuh jidat zhira yang hangat. Namun zhira
menepis tangan kakaknya. Regha makin heran. Sebelum kak Regha selesai dengan
ritual mandinya, aku segera berangkat ke kampus.
Diperjalanan, aku masih bingung dengan sikapku pagi ini. Aku tak lagi
memperhatikan kakakku. Mengapa ?. apa yang salah pada kakakku ?. atau aku yang
salah ?. kemarin kami hanya bercanda, namun entah aku mulai berubah sejak
pulang kampus kemarin. Aku tak lagi peduli pada kakakku. Di kampus aku hanya
diam saja. Tak seperti biasanya, aku akan lari kesana kemari menjahili
teman-temanku.
Akhirnya pernikahan itu diselenggarakan juga. Regha vhantiko dan Shilira
adyarhandi, setidaknya kedua nama itu yang menghiasi kertas cantik nan mewah,
lebih tepatnya disebut undangan pernikahan, benda yang sedari tadi tergeletak
pasrah dihadapan Zhira yang terpaku dikamarnya. Ia masih tak percaya hari ini
akan datang.
“kak, keluar yuk... nda enak sama tamu kalau kakak nda ada...” suara
lembut adikku, Tifha piantira, nampak cantik nan anggun dibalut busana kuning
keemasan, nampak serasi dengan kulit putihnya yang bersih. jilbab yang setia
bertengger dikepalanya nampak indah membungkus rambutnya.
Ahh... mengapa aku tak tertarik pada wanita macam adikku ?. mengapa
harus lelaki seperti kak Regha ?. mengapa aku harus mencintai kakakku sendiri,
kakak lelakiku, padahal aku sendiri seorang lelaki. Mengapa aku tak tertarik
pada wanita ?. mengapa ?.
Dua tahun berlalu semenjak pernikahan kakakku, aku mulai terbiasa tanpa
kakakku, terkadang ia hadir dirumah kami, bersama istrinya yang cantik, dan
tentu saja, anaknya yang lucu, hidung dan matanya sangat mirip dengan kak Regha,
bibir tipisnya serta pipinya yang merah sangat mirip dengan kak Shilira, istri
kakakku.
“zhira, makan yuk “. Suara lembut istriku membuyarkan lamunanku di
malam itu. Sejak tadi aku hanya terdiam di beranda depan, memerhatikan dewi
malam yang tersenyum indah berhiaskan purnama penuh, begitu menawannya ia,
sangat sempurna dengan kehadiran istriku, Tiara gerishaly. Wanita lembut,
lulusan fakultas kesehatan yang kini menjadi dokter disalah satu rumah sakit
dikota ku ini kini menjadi istriku. Seorang wanita yang berhasil menaklukkan
hatiku. Satu-satunya wanita yang berhasil membuatku jatuh hati, jatuh hati yang
sesungguhnya, bukan pada lelaki, namun pada wanita.
“tuhan terima kasih telah mengirimkan malaikat Mu yang menawan ini”. Gumamku
sambil memerhatika mata istriku yang
indah. Ku kecup kening istriku yang ranum sebagai tanda syukurku atas
kehadirannya untukku, menyelamatkanku dari dosa besar akan seorang gay.
0 komentar:
Posting Komentar