Aku
tak pernah mengerti, yah.. selalu saja... hal yang membuatku kaget, dan heran
setengah mati. Tapi ini nyata. Sekali lagi aku harus menghadapi kebenaran ini. Apa
memang mereka seperti itu ?. ku kira mereka mendukungku ?. namun mereka
menjatuhkanku. Apa yang mereka inginkan sebenarnya. Bukankah mereka sahabat. Kurasa
pilu dihatiku. Perlahan air mataku jatuh meleleh dipipiku. Tuhan, kuatkan
hamba...
“yang
benar saja ? benarkah mereka yang mengatakan itu ?”. kata ku lirih
“iya,
mereka yang mengatakannya kemarin, jelas saja”. Farhi memperjelas kata-katanya.
Aku
semakin miris, semakin menggulung ulur hatiku dalam-dalam. Perlahan namun
jelas, terbayang wajah mereka. Namun seakan buram dimataku. Aku bingung,
menentukan perasaan yang kurasakan. Terbayang masa-masa indah saat kami
tertawa, memanggul suka dan duka bersama.
*
“din,
pulang bareng yuk “. Kata rinda sesaat setelah bel pulang berdering nyaring
membelah keong ditelingaku.
“ok.” Sahutku
singkat. Segera ku ambil si pink di parkiran sekolah lalu dengan segera beban
di jok belakangku bertambah, rinda sudah duduk manis dibelakangku. Kupacu motorku
menuju rumah rinda. Ku lihat tira, kanya, dan vera telah sampai duluan di rumah
rinda.
“kok lama
?” sahut kanya sambil menarik handphone ditanganku.
“tidak,
tadi ada urusan sedikit”. Kata rinda
“makan
yuk, cacing perutku sudah konser nih”. Sahut kanya yang kusambut dengan uluran
selembar duaribuan. Lalu tak cukup semenit, uang untuk membeli pengganjal perut
sudah terkumpul. Seperti biasa, kanya dan tira bertugas untuk membeli makanan. Dengan
segera mereka bergegas pergi.
*
“duh...
pusing...”. vera membuka halaman bukunya tanpa membaca sedikitpun isinya. Ku
lihat kertas-kertasnya sudah kusut karena ulah tangan vera.
“pusing
kenapa ? tugas itu lagi ?” kata kanya sambil mencomot butiran-butiran kue kecil
dipiring coklat. Kali ini kami memilih berkumpul dirumah vera.
“iya
nih... pusing gimana kerjanya”.
“tuh,
apagunanya ada sahabat yang berotak encer ?” kata kanya diikuti lirikan mata
vera, kanya, tira, dan rinda. Aku yang sudah paham betul maksud mereka langsung
bersungut mengambil buku yang sedari tadi bertengger di tangan vera.
“nah gitu
kek dari tadi” sahut vera dengan nada lega. Segera otakku bermain dengan
kalimat-kalimat soal yang mebuat kepala vera pusing tadi.
Tak berapa
lama, aku sudah selesai dengan peperangan kalimat-kalimat yang menurutku tak
cukup sulit untuk dituntaskan. Segera ku tutup buku yang tak cukup tebal itu.
“pulang
dulu yah, kakakku nunggu nih, pengen pulang bareng aku katanya”. Kataku memecah
konsentrasi makan mereka.
“loh ? kok
cepat banget ?. tinggal bentar aja bisakan ?”. sahut rinda dengan makanan yang
memenuhi mulutnya.
“nggak
bisa, kakakku dah buru-buru pengen pulang, udah yah, ku cabut dulu.. daaahh”. ;ambaian
tanganku menyumbat mulut mereka yang masih ingin menahan langkahku untuk segera
pulang.
*
Pagi yang
cerah, seminggu sudah aku menikmati kebebasanku dari tuntutan soal maha susah
dari para guru SMA ku. Yah, minggu porseni memang minggu kebebasan para siswa,
tak terkecuali aku. Aku yang dikenal rajin belajar pun tak kala senangnya
dengan porseni. Beberapa lomba pun sudah aku ikuti. Termasuk lomba puisi. Aku,
fio, dan ayu sudah menang telak atas lomba puisi tersebut. Namun keceriaan kami
berubah saat farhi memberitahukanku bahwa seseorang keberatan atas kemenangan
kami. Farhi memberitahuku dengan penuh rasa takut. Takut kalau-kalau aku akan
kecewa berat dan tidak ingin membantunya
menilai lomba vokal dan seni tari. Yah tiap tahun aku selalu menjadi juri
kesenian. Entah setelah aku lulus siapa yang akan menjadi penerusku. Bahkan
guru kesenianku pun ragu memiliki siswa sepertiku nanti. Itu sih menurut guru
kesenianku. Aku merasa banyak yang lebih bisa dariku, walau tak seteliti dengan
ku.
“tak
apalah dek, kalau memang dia pengen ambil juara ini, biar aja, aku ikhlas kok. Lagipula,
aku nggak kejar juara kok, cuman aku kasihan sama teman kelas ku, udah senang
aku juara, tapi ujung-ujungnya pengen dibatalin”. Kataku sambil memaksa menarik
ujung bibirku. Walau air mataku tak dapat kularang untuk mengalir.
“nggak
bisa kak, ini juga harus minta persetujuan kakak, kalau kakak nggak ikhlas,
kita nggak bakalan batalin kok kak, udah kakak jangan nangis”. Hibur citra sambil
menghapus air mataku dengan ujung jilbabnya.
“udah,
nggak apa-apa kok, saya ikhlas... udah farhi, kasih aja, mungkin dengan begini
mereka akan merasa puas, aku udah biasa kalah dengan cara begini kok, toh
dimata Allah dan teman-temanku kan kakak tetap yang menang”. Kataku kembali
sambil tetap mencoba tersenyum walaupun ujung bibirku serasa menyeret beban
seberat 50 kilogram.
Kala itu
aku mulai berfikir untuk menjauh dari mereka. Yah, aku dan rinda memilih
berpisah dari mereka. Hal yang dulu pernah ku katakan sebelumnya, bahwa tak ada
yang bernama sahabat di dunia ini, ia hanyalah sebuah ilusi dan alasan untuk
memperoleh keuntungan pribadi semata. Selebihnya tak berarti sedikitpun.
Untuk
mereka yang telah
meinggalkan
bekas mendalam
tentang
sahabat.
dariku rezky wachyuni
0 komentar:
Posting Komentar