Buku biru dan
cita-cita Sarah
Rezky wachyuni
Siang yang begitu terik. Menghembuskan udara
panas di atas jalanan berbatu desa kecil tempatku tinggal. Siang yang begitu
berarti bagiku, karena sebentar lagi bus jurusan Bekasi-Yogyakarta akan
mengantarku bersama impian ku menjadi dokter munuju gerbang kesuksesan. rasanya
baru kemarin pesta kelulusanku dirayakan, padahal sudah satu bulan berlalu ia
pergi meninggalkan masa SMA bersama kenangan manis remajaku. Ku buka lembar
demi lembar buku harian biruku. Tersisa cerita-cerita masa remajaku disana,
terangkai dalam kata-kata yang murni akan kepolosan remaja.
...
“yakin kamu mau ke jogja le ? udah dipikirin
matang-matang emangnya ?”. kata Emak seiring hembusan nafas tuanya yang kian
membuatku sedih. ada rasa sedih juga harus meninggalkan Emak di desa ini. Bukannya
takut akan bahaya, desa ini sangat aman. Apalagi desa ini sudah bersahabat
dengan ibuku sejak beliau masih jaman kanak-kanak dulu. Bapak juga lahir di
desa ini. Beliau juga mengabdi sebagai petani di desa ini pula. Meski keluargaku
mengolah sawah dan kebun milik sendiri tapi itu bukan alasan bagiku untuk tetap
tinggal di desa ini. Aku harus mengejar cita-citaku. Adikku Nilam dan Sandi
masih SD. Nilam berusia tiga tahun lebih muda dari Sandi. Tahun depan, kalau
Tuhan mengijinkan, Sandi akan menjejakkan kaki di sekolah menengah pertama,
sekolah putih biru pertama dan satu-satunya yang ada di desaku. Kami juga hanya
memiliki satu sekolah menengah atas. Jadi bisa dibayangkan jumlah penduduk di
desa kami cuman seberapa.
“yakinlah Mak, wong aku sudah siap jauh-jauh
hari sebelumnya, Emak kan sudah tahu betul Sarah kepengen raih cita-cita Sarah
buat jadi dokter, kan Sarah pengen ngebahagiain Emak sama Bapak, juga pengen
lihat Sandi sama Nilam jadi orang besar juga”. Jawabku sembari memasukkan
beberapa potong Pakaian ke dalam koperku yang tak seberapa besar, tak lupa juga
ku masukkan beberapa lembar buku ke dalam tas ranselku, dan tentunya peralatan
lainnya yang sudah ku kePak dalam dos. Ku hampiri Emak yang sedari tadi duduk
di tepi ranjang kamarku. Ku tatap lekat wajah beliau, terlihat jelas kerutan
disana-sini, menandakan usianya yang semakin senja. Rambutnya yang mulai
memutih menggambarkan fikirannya yang berat dihimpit masalah ekonomi keluarga. ku
lihat beberapa titik air mulai menggunung disudut mata beliau. Ahh, aku tak
ingin melihat air mata Emak menetes, sEmakin memberatkan langkahku menuju dunia
baruku.
“Emak sayang sama kamu, kan kamu bisa terima
lamaran anak Pak kades saja, jadi kamu nda perlu jauh-jauh cari kehidupan di
kota orang”. Air mata Emak mulai mengalir perlahan membasahi guratan-guratan
halus diwajahnya. Seminggu setelah kelulusanku, Edin diantar ayahnya yang
kebetulan kepala desa kami datang melamarku. Namun fikiranku tidak sependek itu
untuk langsung menerima Edin. Meskipun Eding sudah menjadi guru tetap disalah
satu SMP di kota bekasi, namun aku belum siap menikah. Lagipula cita-citaku
masih ingin kuraih dengan semangat yang membara.
“Sarah juga sayang Emak, kalau Emak sayang
sama Sarah, Emak harus restu lihat Sarah jadi dokter”. Sahutku sambil menahan
air mataku. Hatiku terasa perih melihat Emak yang berat melepas kepergianku.
“ya sudah, kalau tekadmu sudah bulat, Emak
titip pesan buat kamu, jaga diri baik-baik, jangan nakal di kota orang, apalagi
kamu tinggal sendiri. Kalau mau pulang kamu mampir dulu ke rumah pa’lemu. Tapi
kalau kamu bosan tinggal sendiri terus berubah fikiran, kamu tinggal saja di
rumah pa’lemu. Jadi anak yang baik, jangan mau bicara sama orang yang nda kamu
kenal. Jangan lupa salat, ingat Allah selalu, belajar yang rajin, jangan bantah
gurumu, mereka orang tua kamu juga, jangan bergaul sembarangan, jangan takabur,
jangan sombong, kita cuman manusia kecil, yang punya segalanya itu yang diatas,
jangan lupa makan, jangan lupa nelpon ke rumah kalau kamu nda sibuk”. Ceramah
khas seorang ibu yang membuat air mataku tak sanggup ku bendung lagi. Aku
lunglai dipeluk kasih Emak. Kurasakan kasih sayang Emak yang tulus membelai
tiap sudut jiwaku.
“assalamualaikum, bu, Sarah, Bapak pulang”. Suara
Bapak membuyarkan keharuan yang memenuhi kamar ku yang sederhana. Bapak baru
saja pulang dari kebun. Kebun warisan Kakek. Kebun yang menjadi tiang
penghidupan keluarga kami agar tak merasa kelaparan. Kebun yang sanggup
membayar biaya sekolah kami bertiga demi memenuhi hasrat keingintahuan akan
ilmu pengetahuan yang maha luas.
“waalaikumsalam” jawabku serentak dengan suara
serak Emak. Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu. Ku lihat Bapak yang terduduk
lelah. Tatapannya lurus melihat barang-barang yang sudah rapi ku susun untuk ku
bawa ke jogja. Terlihat bayangan kesedihan diwajahnya. aku semakin sedih
karenanya. Bapak yang selalu menjadi pahlawan dalam hidupku. Meskipun beliau
lelah, namun tak pernah sekalipun kata keluh kesah terlontar dari mulut beliau.
Hanya kata-kata lembut penuh kasih sayang yang senantiasa beliau ucapkan. Perlahan
tangan mungil memelukku dari belakang. Nilam, adikku yang sedari tadi mengurung
diri dalam kamarnya terlihat sedih pula dengan rencana kepergianku. Matanya
yang sembab menyisakan kesedihan yang ia sudah tumpahkan sejak pulang sekolah. Sandi
mungkin sedang dalam perjalanan pulang dari sekolahnya. Aku memang sengaja
belum berangkat, menunggu anggota keluargaku lengkap terlebih dahulu. Aku ingin
melihat mereka tersenyum mengantarku menuju gerbang kesuksesan. menuju tembok
keberhasilan yang telah lama kubangun bersama mimpi indahku akan kehidupan yang
lebih cerah ceria.
“kakak jangan lama yah disana, ulang tahun Nilam
kakak pulang yah, kalau Nilam naik kelas nanti kakak pulang kesini yah, ikut Nilam
terima rapor Nilam”. Adik kecilku mulai terisak kembali. Aku membungkukkan
badan lalu memeluknya erat, sangat erat hingga rasanya tak ingin lepas.
*
“jaga diri baik-baik yah”. Ucap Bapak sembari
mengusap air mataku yang kian deras. Kakiku semakin lemas menahan sedih.
“Sarah janji pulang kalau Sarah sempat kok Pak”.
Ujarku mengakhiri drama tangis keluargaku. Lambaian tangan keluargaku serta
teman masa kecilku makin menjauh. Bus jurusan Bekasi-Jogja membawa tubuhku
bersama impian yang kugenggam erat. Jalanan desa yang belum rata membuat bus
sedikit terguncang. Aku yang tidak terbiasa naik mobil mulai merasa mual, ku
tutup rapat mataku agar aku tak merasakan mual yang lebih hebat.
*
“Rah, kamu kangen Emak kamu yah ?”. kata-kata
nina memecah lamunanku diatas foto keluargaku yang berbingkai hijau lumut. Sedari
tadi aku hanya terdiam memandangi foto mereka. Sudah dua tahun aku tak pulang
ke desaku. Rinduku memang terbayarkan sedikit dengan suara mereka via telepon. Sebulan
setelah aku lulus masuk ke perguruan tinggi negeri jurusan kedokteran di
yogyakarta, aku mengirimi Emak telepon rumah. Ku titip pada sepupu dekatku yang
kebetulan ingin bertandang ke desaku. Namun rasa rindu pada mereka tidak
terbayar sepenuhnya. Ingin rasanya aku memeluk mereka. Seberapa besarkah Nilam
dan Sandi sekarang ? apakah cadelnya Nilam masih setia melekat dilidahnya ?. batinku.
“eh, anu Na, iya, kangen nih sama Emak sama Bapak,
apalagi Nilam sama Sandi, udah segede apa yah mereka ?”. ujarku pelan tanpa
melepas pandangan pada foto keluargaku.
“udah, kan tinggal dua tahun lagi kita lulus,
terus jadi dokter, yah kamu bisa pulang deh ke kampung. Aku juga kangen sama
udara bogor beserta keluarga kecilku yang hangat”. Ucap nina sambil menyeruput
teh hangat dihapadannya.
Kuletakkan foto keluargaku di meja belajarku. Au
dan Nina satu kost, tetangga kamar. Dalam satu kost kami cuman ada sepuluh
orang, hanya saja aku lebih sering ngumpul dengan Nina dan Lifah. Mereka
berjilbab, rajin sholat, setiap pukul dua subuh mereka datang ke kamarku,
membangunkanku untuk segera salat tahadjud. Mereka sangat baik padaku. Padahal Lifah
terbilang lebih berada ketimbang diriku. Nina masih lebih cukup dari pada aku. Yah
bisa dibilang kalau diantara kami, akulah yang paling pas-pasan. Namun, Lifah
dan Nina tak suka dengan gaya hidup mewah, orang tua mereka juga tak mendidik
mereka dengan kemewahan, namun dengan kesederhanaan. Itulah yang membuatku
nyaman dengan mereka.
*
“assalamualaikum, Nilam, Emak mana ?”. ujarku
pada Nilam melalui telepon. Suaraku gemetar tak mampu menyembunyikan rasa
khawatir yang bercampur kesedihan. Pa’le baru saja berpulang. Beliau sudah
menyerah setelah perjuangan sengit melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya.
Akhirnya seiring dengan azan subuh yang berkumandang, hembusan nafas pa’lepun
menerbangkan jiwanya menuju keabadian yang sesungguhnya.
Jenazah pa’le diantar ke desaku sore ini,
akupun turut mengantar jenazah pa’le. Ku titip laporan pasien yang belum sempat
ku rampungkan hari ini pada asistenku. Pa’le berjuang hingga akhir di rumah
sakit tempatku bekerja. rumah sakit umum Bekasi merupakan saksi bisu kepergian
pa’le. Setidaknya aku sudah mengabdikan diriku untuk pa’le. Aku sudah
mewujudkan keinginan terbesar pa’le. Beliau pernah berkata, kalau beliau sangat
ingin memiliki keluarga seorang dokter yang mampu merawat beliau kala sakit. Aku
bangga telah mewujudkan keinginan beliau. Dan kini harapan beliau telah terbang
tinggi bersama jiwanya yang tenang. Begitupun dengan cita-citaku yang kini
menari dengan bebasnya di cakrawala kehidupan. Cita-cita yang membawa Emak, Bapak
menuju kehidupan yang diimpikan oleh mereka. Impian yang menggiring langkah Nilam
dan Sandi, adik- adik emasku menuju kesuksesan yang mereka genggam. Yah, kalian
juga bisa. Kalian harus bisa.
*
Siang yang begitu terik. Menghembuskan udara
panas di atas jalanan aspal desa kecil tempatku tinggal. Ku seruput hangatnya
teh manis buatan Nilam adikku. Ku tutup buku harianku. Ku lihat beberapa
tetesan air mataku membasahi lembaran birunya. Buku harian yang menjadi saksi
bisu perjalanan ku menuju tangga kesuksesan.
0 komentar:
Posting Komentar